Tetangga
Percaya atau tidak, tetanggaku berkata bahwa pada suatu malam ia pernah menyaksikan makhluk misterius seperti manusia burung yang tinggi besar bermantel hitam menampakkan dirinya dekat satu rumah di ujung jalan. Saking penasaran, aku mengajukan diri untuk menjadi anggota pengintai yang setiap jam mengintip dari dalam rumah ke arah tempat kejadian perkara. Mari kita buktikan, "apa makhluk semacam itu ada?"
Demikianlah kegiatan tersebut menjadi pekerjaan baruku. Sebagai siswa SMA tingkat akhir, aku lebih memilih menghabiskan banyak waktu di rumah ketimbang di sekolah. Bukannya membatasi diri dari pergaulan, hanya saja aku ingin lebih leluasa untuk dapat melakukan banyak hal. Seperti membuat name misalnya, sketsa kasar sebuah naskah komik. Salah satu hal yang bisa membuatku lupa waktu kalau sudah mengerjakannya. Tidak ada yang menegurku untuk berhenti walau hari sudah larut, karena aku lebih banyak sendiri ketika di rumah.
Ibu meninggal satu tahun lalu akibat penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya. Sementara ayah bekerja sebagai penyiar radio yang setiap harinya pulang di atas pukul dua belas dini hari. Aku selalu menunggunya sambil mengerjakan tugas, menulis naskah ataupun membaca buku. Tak jarang untuk sesekali menengok ke luar jendela. Barangkali siluman yang digosipkan tetanggaku itu datang lagi. Kalau ditanya takut atau tidak, aku takkan mengelak, tetapi ketakutan itu bukanlah apa-apa sampai makhluk mengerikan semacam itu tertangkap oleh mataku. Sendirian di rumah tidak membuat nyaliku ciut, karena aku selalu percaya Tuhan ada untuk melindungi. Terlebih lagi, aku punya dua penjaga, yakni si Cemong dan si Garong, kucing liar peliharaanku.
Hari demi hari berjalan seperti biasa. Tak ada yang berbeda dari sajian sarapan berupa roti tawar dan teh hangat, pergi diantar ke sekolah dengan motor dan pulang bersama teman dengan angkot. Jarak dari perhentian angkot sampai rumahku cukup jauh. Maka dari itu, aku harus melanjutkannya dengan berjalan kaki, menapaki jalan pintas sambil mendengarkan musik, menyusuri kebun kosong, memasuki gapura komplek serta melewati TKP yang menjadi lokasi pendaratan si monster burung. Beberapa kali aku melewati jalan tersebut di atas pukul tujuh malam, tetapi rasanya biasa saja. Tidak ada hawa yang tak mengenakkan. Kalau menggunakan konsep cocoklogi, di jalan tersebut terdapat satu rumah yang pemiliknya memang memelihara berbagai jenis burung, tetapi apa korelasinya? Meski berpikir di luar nalar sekalipun, rasanya aneh ada hal semacam itu di masa sekarang. Aku mulai berpikir bahwa itu halu.
Aku mengundurkan diri sebagai pengintai esoknya. Usai sekolah, lebih baik pulang tanpa memikirkan apa-apa. Sesampainya di belokan depan rumah, aku mendapati anak tetangga seberang sedang bermain di halaman, panggil saja Caca. Hampir setiap hari ia bermain. Kadang sendiri, kadang bersama saudarinya. Kalau sempat, aku selalu menemaninya bermain dari balik pagar yang terkunci. Kamu tahu kelinci? Begitulah ia ketika aku menemaninya. Perbedaan paling kentara, yakni jika kelinci pada umumnya diberi makan wortel, sementara kelinci yang satu ini aku beri makanan sosis kemasan, sisa jajan di sekolah.
"Ini buat Caca," ucapku. Ia menerimanya tanpa ragu. Aku senang. Kemudian "mamih", lansia yang mengurus gadis berambut pendek seleher itu muncul dari balik pintu, mewakilkan kata terima kasih. Kalau sudah sore, mamih memang jarang terlihat.
Pernah suatu waktu, gadis berusia lima tahun itu bermain dengan perahu kertasnya di tengah hujan. Entah bagaimana kemudian, perahu kertas itu tergeletak di luar pagar. Ia berusaha meraihnya meski tak sampai. Karena iba, akhirnya aku membelakan diri menerobos hujan dan memberikannya seraya berkata, "jangan hujan-hujanan!" sambil menggunakan bahasa tubuh sekadarnya. Harapku agar ia mengerti, tetapi tetap saja tak berkutik. Daripada aku semakin basah, maka kutinggal saja.
Selang beberapa lama usai 'perjumpaan sosis' itu, aku sampai rumah lebih sore dari biasanya. Sampai tak terasa ada tanda-tanda kehidupan dari rumah seberang, seperti rumah kosong. Begitupun rumahku. Pintu terkunci, tanda ayah sudah pergi kerja.
"Assalamu'alaikum," salamku ketika memasuki ruang gelap dan tersadar ada selembar kertas yang kuinjak ketika hendak menutup pintu. Kunyalakan lampu untuk kemudian duduk di sofa sambil memerhatikan kertas A4 itu dengan seksama. Terdapat goresan pensil menyerupai foto keluarga, yakni dua laki-laki, dua perempuan serta dua kucing. Aku tersenyum ketika membaca nama pembuatnya di sudut bawah kertas, rupanya Caca. Sekilas memang biasa saja, hingga saat aku menebak satu per satu orang yang ia gambar, ini terasa janggal. Dua laki-laki itu pasti aku dan ayah, kemudian dua kucing itu Cemong dan Garong. Satu perempuan yang tampak berkerudung itu pasti ibu, sementara satu perempuan lagi siapa? Aku sempat mengira bahwa itu adalah Caca, walau rambutnya lebih panjang, tetapi ya sudahlah .... Maka kutaruh sembarang kertas tersebut di meja dekat dispenser. Untuk apa terlarut dalam gambar imajinasi anak kecil, apalagi sampai lupa melepas lelah.
Saking sepinya suasana malam ini, sampai-sampai aku yang jarang nonton TV ini berniat ingin menyalakannya. Supaya ada kehidupan. Rasanya sudah hampir setahun tidak dinyalakan, karena TV itu hiburannya ibu saja. Kanal demi kanal kulewati, mencari tayangan bagus untuk diputar. Sebuah tayangan horor berupa kontes uji nyali baru saja terlewati. Seketika otakku teringat bahwa ini malam jumat. Tak ada yang menakutkan memang, hanya saja batinku berkata, pantas saja sepi. Tetapi tak apa, sebentar lagi juga ayah pulang.
Suara motor yang naik ke beranda rumah membangunkanku, begitupun tayangan dalam TV yang menontonku tertidur tadi juga sudah berganti menjadi acara berita. Aku membuka selot sebelum ayah mengetuk.
"Sudah tidur?" tanya ayah sembari memberikan bungkusan berisi makanan. Aku mengangguk, ia berlalu. Sedetik kemudian aku menyadari sosok gadis di rumah seberang yang belum kutemui seharian ini. Ia menengok dari jendela paling sudut rumahnya yang kalau kutebak ruang itu pasti kamar.
"Tidur ...," desisku seraya bermain mimik. Seperti biasa, tak ada respon. Buru-buru aku mengambil gambar yang ia buat.
"Terima kasih gambarnya ...," tambahku, sambil menunjuk kertas dan memberinya jempol. Tak perlu berlama-lama, segera kututup rapat kain gorden juga selot pintu.
Sebelum benar-benar tidur, tidak ada salahnya mengisi perut dengan hasil bawaan ayah yang kutahu pasti masakan khas Sunda. Menu semacam itu tak pernah kulewati walau sudah lewat tengah malam. Prinsipku, kalau mau makan, ya makan saja. Masing-masing lauk pauk, sambal serta lalapannya kusajikan di wadah terpisah. Ayah kembali ke ruang tengah dengan setelan santai, kemudian aku mempersilakan untuk ikut makan.
Sambil makan, ayah selalu bercerita tentang bagaimana hari berjalan. Apa saja yang dilalui ketika di rumah, usai mengantarku sekolah, di jalan ataupun di tempat kerja.
"Tadi pas ayah mau berangkat, si Caca nyariin kamu," ujarnya, dengan nada seperti orang kepedasan.
"Oh iya? Kenapa katanya?" sahutku.
"Mau pamitan ... dianter sama kakaknya ke sini, sambil bawa kertas. Kertasnya dikasihin ke ayah, terus ayah suruh masukin lewat sela pintu aja, da pintu udah dikunci." terangnya, sambil membuang sisa tulang ke wadah kecil.
"Hah? Emang pamitan mau kemana?" tanyaku heran. Ia berlalu ke belakang.
"Pindah rumah, gak tahu ke mana." Suaranya menjauh.
Pantas saja rumahnya tampak gelap dan sepi. Rupanya pindahan.
Ehh ..., kalau begitu, yang kujumpai tadi itu siapa?
Comments
Post a Comment