Pemuda Hijrah
Semua berawal ketika aku menjadikannya pengurus kelas ketika SMA.
"Dandi, kamu jadi seksi rohani ya!" perintahku.
"Hah? Kenapa aku?" Bukan tanpa alasan. Selama ini aku melihatnya sebagai siswa paling baik sekelas. Terlepas dari sifatnya yang diam-diam usil.
Kami sudah berteman dekat sejak kelas X. Seperti yang kubilang, bahwa citra yang baik itu memang sudah melekat pada dirinya. Terlihat dari penampilannya yang menggambarkan siswa teladan. Uniknya, dia selalu membawa buku yang kutahu siswa lain tak pernah membawanya, yaitu buku paket mata pelajaran seni rupa dan olahraga yang merupakan mata pelajaran praktik. Seluruh siswa, termasuk aku pasti berpikiran bahwa untuk apa berat-berat membawanya.
Mungkin bagi kebanyakan orang, tipe siswa semacam itu sangatlah membosankan. Terutama bagi kalangan perempuan kekinian. Umumnya, semua orang setuju untuk tidak menilai seseorang dari luarnya saja. Namun, tetap saja seseorang terlihat dihindari oleh orang yang berpenampilan tidak selevel dengannya.
Siapa sangka, bukan hanya mengerti dalam ilmu pendidikan, rupanya dia juga tahu betul segala tentang kultur pop negara asing yang kerap kali jadi perbincangan remaja. Sejauh pengamatanku, dia juga pandai memberi umpan balik untuk lawan bicaranya, sehingga tak ada bahasan yang membosankan dari keduanya. Keberadaannya tampak disukai banyak orang, bahkan disegani oleh beberapa siswa kelas hingga menjadikannya panutan yang akrab disapa "Imam Masdi", diambil dari kata sapaan Mas dengan nama Dandi itu sendiri. Ada-ada saja memang.
Hampir tak pernah aku melihatnya absen salat duha. Tidak hanya saat mata pelajaran PAI, melainkan hampir semua mata pelajaran di jam yang sama. Hingga siswa lain memakai alasan tersebut demi membolos kelas. Hal ini sempat menjadi perseteruan antara aku sebagai ketua kelas dengan mereka yang sulit diatur. Percaya atau tidak, keributan itu sampai membuat Dandi turun tangan untuk melerai. Berhari berikutnya, rutinitasnya tersebut mundur menjadi saat jam istirahat.
Suatu waktu, aku bersama Dandi tergabung dalam satu kelompok mata pelajaran seni. Maka, hari itu aku memutuskan akan datang ke rumahnya usai pulang les, untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dari tujuh anggota, hanya kami berdua yang berniat mengerjakan tugasnya. Walau dia bilang mampu mengerjakannya sendirian, rasanya tidak enak bila harus mengandalkan orang. Maka dari itu, aku berniat membantunya walaupun sedikit. Karena bagiku membuat Nirmana 3D itu cukup sulit, apalagi jika tidak memiliki sentuhan dalam seni.
Suara azan berkumandang dari berbagai penjuru, bersamaan dengan lenyapnya sinar merah di ufuk barat. Tanpa berlama-lama, aku bergegas menuju rumah Dandi. Mengingat tugasnya harus dikumpulkan besok. Berangkatlah aku menggunakan ojek online. Kebetulan, aku pernah datang sekali ke rumahnya. Setibanya di sana, aku membuka handphone dan mendapati pesan dari Dandi.
Nanti langsung masuk aja ya.
Aku udah bilang sama bibi.
Masuklah aku setelah dibukakan pintu oleh bibi. Rumahnya sangat tenang, karena penghuninya belum semua pulang. Sementara Dandi sendiri masih di musala. Berhubung aku juga belum salat magrib, sekalian saja aku ikut bergabung dengannya di sana. Tak perlu kujelaskan betapa luasnya rumah Dandi kalau sampai punya ruang khusus untuk ibadah. Berangkatlah aku ke kamar kecil. Cuci kaki sekalian mengambil wudu. Suara merdu Dandi terdengar sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Di saf paling depan ia bersila, memegang kitab. Berpakaian lengkap berupa baju muslim, sarung dan peci. Tinggal satu sentuhan yakni serban, maka akan nampak seperti pemuda hijrah.
Kemudian aku mengendap untuk meminjam sajadah dan mukena. Laki-laki itu memelankan suaranya ketika aku hendak memulai salat. Usainya, aku memilih untuk berdiam diri sekalian menunggu isya. Dia masih tekun mengaji. Sepertinya ini sudah jadi kebiasaannya sejak lama. Aku salut dengan didikan orang tuanya, terlebih dengannya sendiri. Bahwa ternyata masih ada laki-laki yang seperti ini. Ya Allah, tolong sisakan—salah, tolong perbanyak orang beriman seperti ini. Juga, semoga aku dijodohkan dengan orang seperti dia. Ehh ... entah kenapa jantungku berdegup kencang.
Tuk!
Sebuah kalam menyentuh lututku.
"Oy, ngelamun apa doa?" celetuknya.
"Hah ...? Kok udahan ngajinya?" lontarku.
"Ditanya malah nanya balik." ujarnya. Bisa-bisanya aku melamun. Sampai tak sadar kalau sudah memasuki waktu isya. Kami tak banyak bicara saat di musala. Sampai suara azan berakhir, kemudian dia mengangkat kedua tangan, aku tidak. Dia mengusap wajah, aku tidak.
"Masdi ... maukah kamu menjadi imamku?" ucapku.
"Ha ...?" Dia berhenti dari bangkitnya.
"Wudu lagi sana." tambahnya.
"Enak aja! aku belum batal." sergahku.
"Oh, kirain kesurupan .... Ya udah, ayo."
Jujur saja, selama salat aku jadi tidak khusyuk akibat ucapanku sendiri. Aku harap dia tidak berpikir macam-macam soal itu. Kalimat tadi aku juga tidak sadar apa maksudnya. Semua terlontar begitu saja.
Dia berzikir dan berdoa lebih lama dariku. Selama itu pula, rasanya aku ingin mengulangi salatku agar lebih sah. Kemudian, lagi dan lagi, aku bergerak di luar kendaliku. Dia tampak mematung melihatku mengajaknya bersalaman. Dia tak bersuara, aku pun tidak. Sungguh keadaan yang canggung. Kebiasaan ini tak dapat terelakkan. Hingga sedetik kemudian akhirnya dia mau menerima jabat tanganku.
"Gak usah tunduk kepala juga woy, emangnya aku tua!" protesnya.
"Hahahaha!" Aku terbahak.
"Dasar." Entahlah, tanpa bermaksud mengiyakan pernyataannya. Hanya saja aku ingin melakukan itu. Memalukan memang. Semoga saja bibi tidak lihat.
Akhirnya kami pergi ke ruang tengah, tetapi dia tidak membahas sesuatu berkenaan dengan hadirnya aku di sana. Melainkan malah mengajakku makan. Ya, mau tidak mau aku menurut saja ... walau sebenarnya memang lapar, sih. Semoga saja setelah ini dia tidak lupa.
"Oh iya, Fira ... omong-omong, ngapain kamu ke sini?" tanya Dandi dengan tampang tak berdosa.
"Woy! Serius lah ...." Aku berhenti mengunyah.
"Soalnya tugas nirmananya dah aku beresin tadi sore." jelasnya.
"Di, serius ah ...." Aku sempat menyangka bahwa ini hanya keusilannya saja. Sampai dia menunjuk karya itu.
"Terus ngapain gue kesini!!" Aku memekik hingga mengubah kepribadian.
"Ahahahaha, santai, Fir. Bantuin tulis nama anggota aja buat ditempel di karyanya hahahaha." Mendengarnya begitu, membuatku kesal, tetapi untuk apa? Rupanya dia benar-benar bisa diandalkan. Hasil akhir karyanya juga oke, tampaknya dia mengerjakan tanpa asal-asalan.
"Huh ... dasar! Untung Nampyeon-goals." gumamku.
"Apa?"
"Gak!"
Comments
Post a Comment