Gadis Mimpi


Saat itu, rasanya seperti hari pertama bersekolah di SMA super elite, terlihat dari gedung tampak depan. Bangunannya seperti sudah berdiri sejak lama alias peninggalan zaman kuno. Biar begitu, nampaknya masih kokoh dan terawat. Tiang-tiang besar yang membentang menyangga payung atap, membuat ruangan di sekitarnya menjadi gelap. Aku benar-benar dibuat terpukau oleh lingkungan di sana. Hingga suara bel masuk terdengar dan membuatku sadar untuk segera mencari di mana kelasku.

Entah sudah berapa anak tangga yang kulalui, tetapi aku tidak menemukan petunjuk mengenai keberadaan kelas sama sekali. Tidak banyak juga orang yang kutemui, baik siswa maupun tenaga kependidikan. Mereka tampak menghilang. Hingga seseorang yang kukenal memanggilku dari jauh, 
"D! Kelas lu disini!" Dia adalah Tio. Buru-buru aku menghampirinya. Biar kukatakan satu hal, bahwa sebenarnya aku sedang berada di dunia mimpi. Tio merupakan temanku di dunia nyata, wajar bukan kalau kami sudah saling kenal.

"Kita sekelas nih?" tanyaku, sesampainya di lantai tiga. Pikirku, semua yang kukenali keberadaannya berarti ada di kehidupan nyata, sedangkan sisanya yang tidak adalah objek murni dari dunia mimpi.

"Iya, duduk bareng gue ya. Di paling belakang." jarinya menunjuk tempat di mana ia duduk, di barisan dekat jendela. Ketika aku masuk, siswa di kelas rupanya masih berkeliaran kesana-kemari. Kupikir kelasnya sudah mulai, karena aku sama sekali tidak mendengar suara riuh dari luar. Kemudian mereka menyambutku dengan penuh keramahan.

Setelah menyimpan tas, aku kembali menghampiri Tio bersama anak kelas lainnya di koridor. Kami berkenalan satu sama lain sebagaimana yang siswa baru lakukan. Berbincang, hingga menjahili anak kelas sebelah yang lewat. Sampai seseorang bertanya pada kami, "apa kalian lihat uang lima ribu yang jatuh?" dan entah isyarat macam apa, mereka kompak menunjukku seraya berkata, "oh tadi dia yang nyimpen."

"HAAHH? Mana ada. Saya 'kan baru datang ...," elakku.

"Hei bang, tolonglah ... itu uang terakhirku, jangan kau ambil." rengeknya. Beruntunglah aku memiliki uang di mimpi itu, maka kuberi saja dia.

"Nih, jaga baik-baik." timpalku. Kemudian aku kembali ke dalam kelas. Mereka tertawa. Sial, rupanya mereka menjebakku.
Orang-orang di dalam bertanya keheranan, "kenapa, D?"

"Gak apa-apa." jawabku sambil berlalu menuju bangku. Tak lama, seorang siswi berambut panjang terurai tiba-tiba saja duduk di sebelahku.

"Hey, foto dong. Mumpung langitnya lagi bagus." ujarnya seraya mengangkat ponselnya sejajar ke arah kami berdua. Dia bergaya dengan senyum manisnya, sementara aku mematung. Aku benar-benar bingung. Setelah satu kali jepretan, dia memperlihatkan hasilnya padaku.

"Nih, bagus gak?" tanya perempuan itu, begitu dekat, sangat dekat. Bahkan setiap embusan napas, harum rambutnya dapat kuhirup. Aku menatap hasil foto itu, tetapi benar-benar tak dapat meresponnya. Hingga kemudian dia menoleh ke arahku dan kami bertatapan. Cantik.

"Ohiya, namaku Stefani. Panggil aja Fani." Dia memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangannya cukup lama.

"A-ahh ... iya ... salam kenal, ya," balasku, betapa kikuknya. Tetapi lambat laun, kami asyik berbincang. Mengabaikan apa yang terjadi di sekitar. Tenggelam dalam percakapan. Membicarakan banyak hal dari A-Z, tanpa kecuali. Mulai dari hobi, makanan kesukaan, sampai kebiasaan sehari-hari. Dia mengungkapkan bahwa kemanapun dia pergi, harus selalu ada camilan cokelat di tasnya. Karena baginya, cokelat itu merupakan 'obat' untuk menaikkan mood, penghilang rasa stres, serta hal lainnya yang bersifat mengganggu. Dia tidak rela apabila obatnya itu dimintai oleh seseorang, siapapun itu.

"Sekarang bawa?" tanyaku, berniat jahil.

"Bawa kok, ada di tas." terangnya.

"Aku ambil aahh," candaku.

"Iihhh jangan!"

"Ahahahaha pelit."

Kebersamaan kami terganggu ketika aku tiba-tiba saja kebelet buang air kecil. Seseorang pernah berkata, "Jangan buang air di dalam mimpi, itu jebakan!" Tetapi mau bagaimana lagi, ini sudah di ujung tanduk. 

Sama halnya seperti mencari kelas tadi, kali ini aku dibuat kebingungan mencari kamar kecil. Tio bilang ada di ujung koridor lantai tiga, dekat ruang guru dan kepala sekolah. Namun setelah kulihat ternyata khusus untuk para guru saja. Sial.
Akhirnya dengan terpaksa harus ke lantai paling bawah. 

Ternyata punya sekolah besar itu merepotkan ya, mau buang air saja harus naik-turun tangga. Batinku. Kemudian terdengar suara teriakan perempuan yang kukenal dari arah seberang di lantai tiga.

"HEY KENAPA GAK PAKE LIFT AJA?"
Eehh ...? Ada lift? Yang benar saja? Bisa-bisanya aku tidak tahu soal itu. Sial. Kemudian dia menunjuk ke arah dimana lift tersebut berada, rupanya tepat di samping ruang guru, yang artinya aku harus kembali berjalan memutar.

"HAHAHA, SEMANGAT!!" katanya. Aku yang semula kesal jadi sedikit tenang setelah melihatnya tertawa. Namun sesaat aku teringat bahwa ini hanya mimpi, ikuti alurnya dan sebagai catatan "jangan sampai terlena."

Setelah kulihat, ternyata bentuk lift tersebut berbeda dengan lift modern yang sering kita jumpai di mal, melainkan lift asitektur kuno dengan pintu yang menggunakan jeruji besi hitam pekat, seperti yang terdapat dalam film berlatar zaman dahulu. Tidak heran sih, mengingat bentuk bangunannya pun merupakan peninggalan zaman kuno. Pantas saja aku tidak menyadarinya.
Di dalam lift tua itu terdapat perempuan berseragam putih yang kalau kutebak ia bekerja sebagai operator lift, yang tidak lain untuk mengoperasikan lift tersebut secara manual.

"Mari, biar saya antar," cetusnya. Kemudian ia menggerakan tuas yang menjadi alat utama untuk mengendalikan lift tersebut. Kami sedikit berbincang di sana, dan ternyata ia juga seorang siswi alias kakak kelasku. Perangainya juga ramah. Bayangkan saja ia sebagai pramugari di maskapai penerbangan terbaik kalau ingin tahu sosoknya, karena memang itu yang ada di pikiranku saat melihatnya.

Sesampainya di lantai dasar, aku kembali disibukkan untuk mencari kamar kecil. Sementara itu, satu per satu siswa keluar dari kelasnya tampak membawa tasnya masing-masing, disusul oleh pemberitahuan lewat pengeras suara bahwa siswa sudah boleh pulang. Gawat, harus segera bergegas karena aku tidak tahu akan seberapa lama diriku dapat bertahan dalam mimpi itu, yang pasti aku ingin menyampaikan sesuatu pada setiap orang yang kutemui di sini, katakanlah salam perpisahan. Sebelum terlambat. Sebelum aku pergi. Sebelum ragaku menjadi bulir-bulir cahaya yang berterbangan. Hal yang terjadi ketika seseorang meninggalkan dunia mimpi. Toh, kalaupun masih ada banyak waktu setelah itu, setidaknya meninggalkan tidak akan terasa berat.

Bermenit kemudian, seusainya dari kamar kecil, aku berjalan cepat menuju lift. Cukup lama aku berdiri menunggunya, bersama beberapa guru yang juga mengantre menuju ke atas. Ledakan bel pulang sekolah memang tak dapat dihindari. Tak ada waktu lagi. Akhirnya kuputuskan untuk naik tangga saja. Meski keadaannya sama dan harus berdesakan dengan yang berlawanan arah tetapi setidaknya bergerak. Dengan keadaan terburu-buru, sambil melihati satu per satu siswa, barangkali ada yang kukenal. Terlebih lagi, aku ingin bertemu dengannya untuk kali terakhir. Harus. Aku memohon dalam hati, pada dirinya agar jangan sampai pulang dan juga pada diriku agar jangan dulu terbangun.

Kondisi lumayan lengang di lantai tiga. Hanya ada beberapa orang di sepanjang koridor. Keadaan itu membuatku pesimis. Embusan angin berkelahi dengan kulit yang dibasahi peluh dingin kala aku berlari. Hingga aku masuk ke dalam kelas, menerobos pintu yang setengah tertutup, sama halnya seperti sinar mentari yang menembus masuk melewati jendela yang setengah tertutup oleh kain gorden. Menerangi seseorang yang kuharapkan keberadaannya itu, dia tampak sedang berdiri menghadap bangku yang kutempati. Dengan latar belakang yang masih sama bagusnya seperti beberapa saat lalu sebelum akhir menjelang.

"Stefani ... hey ...," sapaku lirih. Dia menoleh, kami bertatapan, lagi. Apa yang kulihat benar-benar diluar dugaan. Bagian tubuhnya sedikit demi sedikit menerbangkan bulir-bulir cahaya. Bersatu dengan mentari yang memancar. Dia sama sekali tak bersuara, begitupun aku yang bergeming menyaksikan dirinya perlahan menghilang. Saking indahnya. Bibirnya melengkungkan senyum yang tak terlupakan, senyum yang sama ketika dia lempar saat kali pertama. Membuat siapapun yang melihatnya ikut tersenyum setiap kali mengingatnya. Hingga kilau air mata jatuh ke pipinya begitu saja. Membuatku tersadar untuk segera mengejarnya. 

Namun ...,

"STEFANI!!"

Semuanya terlambat.

Aku tak berhasil menggapainya,

Sebagai sesuatu yang dapat dicegah.

Tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di tempat itu. Kalau masih ada waktu, lebih baik aku pulang. Mengakhiri cerita dengan tenang, hingga diriku yang nyata terbangun. Lagipula sudah tidak ada siapa-siapa di sini. Tio juga mungkin sudah pulang. Kemudian aku menyadari sesuatu ketika hendak menggendong tas, ritsletingnya terbuka. Seingatku, tidak ada barang yang kukeluarkan. Jangankan mengeluarkan, membuka pun tidak. Dengan rasa curiga, aku merogoh ke dalamnya. Apa yang kudapat? 
Satu bar cokelat yang disisipi kertas bertuliskan:

"Ini cokelat khusus untuk kamu."

Aku tersenyum. Meski semu, aku merasa perjumpaan dengannya merupakan salah satu hal paling beruntung.

Ah ... 
Iya ... 
Omong-omong, aku baru sadar ...
Kalau aku belum memperkenalkan diri padanya.

Comments